Jumat, 03 Agustus 2012

Sabtu, 30 Januari 2010

Magic Word

Apa perbedaan mendasar yang dirasakan ketika tinggal di New Zealand dengan tinggal di Indonesia. Jawaban saya sederhana; keseimbangan hidup.

Tak heran kalau dari riset mengatakan kualitas waktu keluarga di New Zealand adalah salah satu yang tertinggi di dunia. Bahkan ketika para pengusaha retail berniat memperpanjang jam buka toko atau pusat belanja, langsung mendapat protes dari para pekerja. Sebab, waktu buat keluarga dikuatirkan akan berkurang.

Orang kiwi (sebutan penduduk NZ) sering terheran-heran dengan bagaiamana ngototnya para imigran asia mencari uang siang dan malam. Seolah takut mati kelaparan dan kekurangan uang. Bagi mereka asal bisa pergi ke pantai atau ke taman dengan keluarga sambil membawa bekal, itu sudah merupakan kenikmatan luar biasa, meskipun pekerjaan mereka adalah handyman, plumber atau pekerja pabrik yang ahir-ahir ini posisi itu banyak direbut oleh pekerja Asia.

Jadi magic word nya; k e s e i m b a n g a n.

Kembali ke Selera Asal

Anak kami, Vikra, sudah 2 bulan berlibur di Jakarta. Ahir bulan ini dia berencana kembali ke Auckland untuk kuliah di semester 3. Liburan musim panas memang bisa sangat panjang sampai 3 bulanan. Apartment yang dia sewa bersama beberapa temannya dia lepas dulu, nanti menjelang kuliah dia cari lagi apartment sekitar kampus, di AU. Barang2 dia titipkan dulu di sejumlah temannya. Begitulah suka dukanya jadi mahasiswa di LN.

Kalau dari cerita Vikra, soal makan memang menjadi kurang terperhatikan. Makanan dari catering sering lebih cepat habis karena diserbu oleh kawan-kawan yang suka mampir di apartment nya. Walhasil, kalau lapar berat dan tak ada makanan, dia turun kebawah ke minimart 24 jam yang menjual nasi goreng oriental dlm kemasan frozen. Dibawa keatas, panaskan di microwave, lalu hap. Atau kalau malas turun, cukup makan cereal dengan susu.

Duh, hati teriris juga membayangkan apakah gizinya terpenuhi?

Nah, selama liburan di Jakarta, koki di rumah boleh dikata memasak sesuai order Vikra. Semacam membalas kerinduan akan aneka makanan Indonesia, misalnya rawon, oseng tempe, pepes tahu, tempe mendoan, sup kacang merah, dll. Itung-itung perbaikan gizi dan selera. Biar gimanapun, sekali lidah melayu tetap selera melayu ya Vik.

Kamis, 24 September 2009

Bilakah Rasa Ikhlas Itu Datang?

Dalam sebuah laporan media, tertulis hasil penelitian CPI yang menggambarkan persepsi mengenai negara dan korupsi. Data yang diketengahkan adalah mulai dari 1985 s/d 2008. Dalam kurun lebih dari 20 tahun itu, Indonesia sebanyak tiga kali berada diposisi 3 negara terkorup, berdampingan dengan negara seperti Nigeria, Kamboja, dan negara dunia ke 3 lainnya.

Sedangkan New Zealand bisa dibilang menjadi langganan diposisi 3 negara paling bersih, berdampingan dengan negara2 skandinavia model Swedia, Finlandia dan Norwegia. Ini berarti para pegawai negri yang mengelola roda negara New Zealand memegang prinsip amanah seperti yang diajarkan Rasulullah. Prinsip memegang amanah ini bahkan tampaknya gagal dijaga oleh para birokrat di negara2 yang mayoritas populasinya muslim, seperti Indonesia, Nigeria, Yaman, Bangladesh, yang notabene mustinya lebih dekat dengan apa yang diteladankan Rasulullah.

Maka, ketika hari ini terbetik berita tentang hasil audit BPK terhadap Depdiknas, hasilnya sekitar Rp 800 milyar berpotensi lenyap akibat korupsi. Saya hanya bisa mengurut dada lagi dan lagi (karena berita model ini kerap kita dengar).

Meskipun pajak di NZ saat ini masih lebih besar dari tanah air, tapi rasanya lebih rela ketika upah kerja kita di NZ dipotong untuk pajak, karena keuangan negara yang banyak bersumber dari para taxpayer ini dikelola secara lebih amanah oleh para birokrat demi kesejahteraan bersama.


Departemen Keuangan dibawah Sri Mulyani memang tampak sedang mereformasi diri, meskipun tertatih-tatih. Kalaupun para aparat pajak dan bea cukai yang berada dibawah Depkeu ini sudah bersih, lalu bagaimana dengan instansi yang lain? Bilakah rasa bangga dan ikhlas itu datang, seperti saat upah kerja saya di NZ dipotong pajak?

Jumat, 28 Agustus 2009

Double standard?

Terbetik berita di TV kemarin, sekelompok anggota yang idealismenya membela Islam di Samarinda mendatangi rumah seorang anggota jemaah Lia Eden. Alasannya sama seperti ketika organisasi ini memburu anggota Ahmadyah, yaitu: "Jangan lakukan penodaan dan penistaan agama Islam...."

Saya tercenung sejenak, mengingat-ingat lagi, apakah organisasi ini juga menghujat para teroris bom bunuh diri, yang menelan korban jiwa manusia tak bersalah (baik muslim maupun non muslim) yang mengaku berjihad atas nama Islam. Tidakkah organisasi yg suka membela Islam itu juga berpikir seperti saya yang juga muslim, yaitu merasa terganggu dengan perbuatan yang menodai dan menistakan Islam karena mengaku atas nama perjuangan Islam membunuhi manusia tak bersalah?

Kemana akal sehat para pembela Islam itu?

Rabu, 29 Juli 2009

Aya-aya Wae...

Maskapai penerbangan NZ, Air New Zealand, kali ini sangat kreatif. Sesuai peraturan penerbangan, dimana sebelum take off penumpang wajib diberi tahu cara-cara penyelamatan dalam keadaan darurat, maka dibuatlah sebuah film berisi tata cara tersebut (Garuda dan banyak maskapai lain pun membuatnya). Tapi yang membedakan, maskapai Air New Zealand memperagakan tata cara tersebut dengan menampilkan air crew yang tidak mengenakan pakaian alias bugil. Tubuhnya hanya di lukis seolah-olah memakai seragam. Tentu saja ini banyak membuat penasaran dan, diharapkan penumpang tidak cuek lagi untuk memperhatikan tayangan film ini sebelum take off. (Seperti kata Jarwo Kwat dalam Republik Mimpi sering mengatakan)... "Aya-aya wae..." (ada-ada aja).

Minggu, 24 Mei 2009

Tokyo Termahal, Jakarta Ter...

Tokyo dikenal sebagai kota termahal di dunia, selain London, New York, Geneve dan Paris. Semakin tinggal di pusat kota semakin melambung biaya hidupnya. Bagaimana dengan Auckland? Dapat dikatakan karakter nya sama saja dengan kota besar negara maju lainnya di dunia.

Untuk Jakarta, saya berani katakan sebagai kota "termewah" di dunia. Ya, sebab urusan masak, mencuci dan menyetrika baju, membersihkan kebon halaman, menyupiri mobil kita dan mengasuh anak bisa diserahkan kepada para pekerja rumah tangga (PRT) dengan biaya yang relatif terjangkau dibanding membayar jasa sejenis bila tinggal di kota2 tersebut di atas.

Di Auckland, misalnya, ketika kami membeli perangkat kursi dan meja makan yang dikirim ke rumah dalam keadaan masih terurai, memerlukan extra tenaga untuk memasangnya satu persatu. Kecuali anda mau keluar extra $200 untuk jasa pemasangannya, padahal harga pembeliannya tak lebih dari $400. Ketika merakit satu persatu dengan keringat bercucuran, pikiran saya melayang ke tanah air. Betapa banyak tangan-tangan yang siap membantu demi sekedar uang rokok dan secangkir kopi tubruk. Ya, Jakarta memang kota "termewah" karenanya.

Sabtu, 16 Mei 2009

Bagaimana Anda Bisa Katakan Anda Lebih Islam?

Dalam hingar bingar politik tanah air, ada catatan kecil yang saya anggap besar. Tersebutlah salah satu partai berhaluan Islam yang secara emosional meminta SBY meninjau ulang calon wapresnya, Budiono. "Kami minta ummat Islam terepresentasi dalam kepemimpinan nasional," serunya. Dalam hati saya, ini maksudnya Islam apa lagi? Bukankah SBY dan Budiono itu juga ummat Islam? Yang non muslim jangan-jangan akan berpikir, "Oooo, emangnya SBY dan Budiono itu bukan Islam toh?"

Saya bukan pendukung SBY dan juga seorang penganut Islam. Setahu saya Allah membedakan manusia dari ketaqwaannya, bukan dari apakah ia seorang kader parpol Islam. Apalagi sejarah mencatat kader parpol Islam ternyata tak bebas dari perilaku korupsi dan perselingkuhan.