Senin, 28 Januari 2008

Enak Mana, di NZ atau di Tanah Air?

Tulisan kali ini hanya ingin menyampaikan rangkuman komentar dan fakta yang saya peroleh saja, jadi silakan anda yang simpulkan sendiri.

Bagi mereka yang sudah hidup sangat mapan secara ekonomi di tanah air, umumnya merasa bahwa kesempatan untuk mendapatkan uang jauh lebih besar adanya di Indonesia, meskipun banyak pungli dan ketertiban masih rentan. Kalaupun nanti tinggal di NZ, biarlah itu untuk menikmati hari tua, ketika pundi2 uangya sudah terisi penuh dan tinggal menikmati pasive income saja. Udara bersih dan sitsem di NZ memang dianggap cocok untuk menikmati hari tua.

Bagi mereka yang bisnisnya belum berhasil atau sudah lama di PHK dan sulit mencari pekerjaan di tanah air, melihat bahwa tinggal di NZ adalah sesuatu harapan yang lebih baik (ini juga tercermin dari banyak respon email kepada saya setelah mereka membaca blog ini, yang umumnya menaruh harapan besar untuk bekerja di NZ). Memang dalam kenyataanya, banyak pekerjaan yang tersedia (selama kita tidak pilih2 pekerjaannya), dengan upah minimum yang berlaku standar.

Beberapa kenalan di NZ ada yang mencoba kembali ke tanah air untuk memulai kehidupan baru, tapi banyak yang merasakan bahwa ahirnya lebih baik kembali ke NZ. Ada yang karena sudah tidak tahan dengan kemacetan, ada yang menilai pendidikan buat anaknya lebih baik di NZ, dll. Sebaliknya, ada yang sudah mencoba hidup di NZ, tapi tak tahan dengan ketersediaan lapangan kerja yang mayoritas "blue collar", sehingga ahirnya memutuskan kembali ke tanah air.

Bagi saya, kita hormati saja keputusan masing-masing orang untuk memilih apakah mau tinggal di tanah air atau di NZ. Standar kehidupan masing-masing orang kan berbeda. Ada yang motifnya mencari keseimbangan antara materi dan jiwa. Ada yang motifnya kehidupan duniawi sehingga kaya adalah tujuan. Dan ada motif-motif lain lagi.

Saya pernah menonton acara talkshow di TV, di acara itu Komarudin Hidayat mengatakan: " dulu waktu saya kuliah dan uangnya pas2an, kepingin rasanya makan yang enak2. Sekarang, ketika sudah mampu menikmati makanan2 impian itu justru dilarang oleh dokter karena berbagai penyakit."


Sabtu, 19 Januari 2008

Christchurch - Mt. Cook

Dalam suatu kesempatan kami sempat melakukan perjalanan menjelajahi pulau selatan (NZ terbagi dalam 2 pulau besar, yaitu pulau utara dan pulau selatan yang ukurannya hampir sama besar). Berikut tulisan pertama.

Dimulai dari Christchurch
Setiba di bandara CHC pukul 9 pagi (perjalanan 1 jam lebih sedikit dari Auckland) kami dijemput perusahaan penyewaan mobil untuk dibawa ke kantornya guna menyelesaikan masalah administrasi. Awalnya kami complain, karena pesanan berupa Toyota Previa 8 seater (rombongan 8 orang) mereka ganti dengan Toyota Hi Ace 9 seater yang lebih besar dan kurang aerodinamis. Mereka katakan, harusnya kami dikenakan lebih mahal karena 9 seater, tapi karena ini kesalahan mereka, harga yang dikenakan sama dengan yang 8 seater saja. Setelah saya duduk dibelakang kemudi dan mulai menjalankannya, ternyata oke-oke saja. Rombonganpun demikian, apalagi cukup tersedia ruangan untuk menempatkan tas-tas kami. Kami meninggalkan kota ini sekitar jam 10 pagi.

Christchurch - Mt Cook
Rute yang dipakai SH (State Highway) 1 ke selatan, kemudian belok kanan mengambil SH 79 untuk bertemu di SH 8. Jalan disepanjang SH 79 dan SH 8 masih landai dengan deretan gunung-gunung cadas yang beberapa puncaknya ditutupi salju. Di SH 8 ini kami melintasi Danau Tekapo yang warnanya hijau. Sebuah gereja tua yang menjadi ikon tepi danau ini tampak berdiri kesepian. Setiba di persimpangan SH 80 kami berbelok ke kanan menuju Mt Cook, di mana hampir setengah perjalanannya berada ditepi Danau Pukaki yang keperakan dan sepi dari aktivitas manusia. Setengah perjalanannya lagi berada ditepi glacier yang mengering yang bersumber dari Mt Cook (merupakan puncak tertinggi di NZ). Tak satupun kota kecil dijumpai di sepanjang rute pinggir Danau Pukaki ini. Kami hanya berpapasan dengan satu dua mobil saja hingga ahirnya sekitar pukul 3 sore sampai pada tujuan, yaitu kompleks shelter dikaki Mt Cook tempat para pendaki mempersiapkan segala sesuatunya sebelum melakukan pendakian. Kami menyantap makan siang sambil menikmati pemandangan puncak Mt Cook yang berselimut salju dan kerap tertutup kabut dari jendela kaca lebar restauran. Harga makanan tentu lebih mahal dari restauran sekelas pada umumnya, karena selain di daerah terpencil, restauran ini menyajikan pemandangan yang istimewa. Banyak pendaki atau sekedar turis menginap di kompleks yang meyediakan lodge dan bungalow ini. Pagi hari adalah waktu yang ideal untuk menikmati pemandangan karena belum banyak kabut yang turun.

Rabu, 16 Januari 2008

Pukulan Buat Bangsa Tempe

Ungkapan bangsa kita sebagai bangsa tempe, yang dahulu sempat diidentikkan dengan sesuatu yang lemah atau rendah, telah menjadi suatu kebanggaan tersendiri setelah bangsa lain mengakui keunggulan gizi yang terkandung dalam tempe.Tak kurang dari Amerika dan Jepang telah menempatkan tempe sebagai makanan sehat, bahkan kita sempat tersinggung ketika Jepang hendak mempatenkan tempe sebagai makanan asli mereka (belakangan beberapa desain batik Jawa dipatenkan Malaysia).

Sebagai makanan khas Indonesia, tempe menyedot 1,7 juta ton kacang kedelai untuk 2007 saja. Sayangnya, sekitar 50% dari kebutuhan tersebut harus diimpor. Dan, ketika dewasa ini harga komoditi itu di dunia meningkat 100%, hancurlah industri tempe dan tahu. Kemarin, para pelaku industri yang tergolong pemain small business atau home industry beramai-ramau demonstrasi di depan Istana presiden, meminta pemerintah bertindak untuk penyelamatan industri ini.

Bangsa Tempe sedang gundah karena identitas mereka bakal tidak eksis lagi akibat ancaman kepunahan tempe.

Di NZ, setidaknya Auckland, perantau Indonesia bisa memperoleh tempe di supermarket Asia dalam keadaan frozen. Yang pasti bukan diimpor dari Indonesia, sehingga rasanya agak berbeda. Selain itu, ada juga warga Indonesia yang memproduksi tempe rumahan untuk dijual ke orang-orang Indonesia lainnya. Yang ini rasanya lebih mendekati aslinya, sehingga tak heran banyak penggemarnya di kalangan orang Indonesia.

Kembali ketanah air kita hanya bisa prihatin, ketika harga daging dan ikan melonjak, tempe dan tahu adalah penyangga nutrisi bangsa ini dengan harga yang sangat terjangkau. Dimakan dengan nasi, kecap, krupuk dan sayuran, tempe dan tahu bisa memuaskan banyak perut anak bangsa.

Selasa, 15 Januari 2008

Tempe Sejati

Orang NZ baru saja kehilangan salah seorang Kiwi Teladan nya (selain nama buah dan nama unggas, Kiwi adalah juga sebutan bagi orang NZ), ia adalah Sir Edmund Hillary yang bersama Tenzing Norgay (seorang sherpa Nepal) menaklukkan puncak Mt. Everest (8848 m) pertama kali tgl. 29 Mei 1953. Beliau wafat tgl 11 Januari 2008 yang lalu akibat serangan jantung di usia 88 tahun. Perdana Menteri Helen Clark menggambarkan Hillary sebagai sari pati Kiwi, yaitu; rendah hati, pekerja keras dan jujur (dikutip dari harian Kompas 14 Jan. 2008).

Hmm, saya kira soal sari pati Kiwi di atas bisa ditularkan atau diadopsi juga sebagai sari pati Tempe (bukankah kita sering disebut sebagai bangsa Tempe?).

Senin, 07 Januari 2008

Bersatu Kita Kuat

Hari Minggu tgl 6 Januari 2008 kemarin, kenalan kami di NZ mengadakan syukuran khitanan putranya di Jakarta, mumpung lagi libur panjang rupanya. Maka, berjumpalah kami dengan banyak kenalan di NZ yang sedang berlibur di Indonesia. Pertanyaan yang paling banyak disampaikan adalah, "kapan ke Auckland?"

Dalam obrolan kemudian ada suatu ide yang menarik yang dilontarkan beberapa teman, yaitu kenapa orang Indonesia di NZ tidak berinisiatif membentuk suatu usaha patungan bersama agar terkumpul modal yang besar. Hmm, menarik memang, karena komunitas seperti China, Korea atau India sudah lumrah saling berpatungan membentuk suatu usaha, sehingga dengan modal yang besar bisa melakukan usaha dengan skala yang lebih besar.

Sepulang dari acara di atas, saya termenung, ide bagus tersebut memang harus bermodalkan bukan hanya dana tetapi juga rasa saling percaya. Mungkin inilah masalahnya, sesama perantau yang baru saling berkenalan belum tumbuh rasa saling percayanya. Bagaimanapun ini tetaplah ide yang menarik yang harus dipecahkan kendala-kendala psikologisnya. Saya hanya berharap bermunculan usaha-usaha sukses di NZ yang dikelola oleh orang-orang Indonesia. Semoga.

Cerita Sukses dari Christchurch

Dalam suatu kesempatan kami sempat mengunjungi kenalan Indonesia di Christchurch. Dia sudah tinggal disana lebih dari 5 tahun dengan memboyong keluarganya. Inilah salah satu teman yang sukses hidup di daerah selatan, ketika banyak orang Indonesia lebih menyukai tinggal di Auckland yang daerah utara NZ (mungkin karena daerah utara lebih hangat dan lebih ramai).

Selain memiliki rumah di Christchurch, dia juga memiliki tanah pertanian di utara kota ini yang disewakan ke orang lain. Belum cukup dengan itu, ia baru saja menyelesaikan satu tower apartemen termewah di tengah kota Christchurch yang satu unitnya minimal seharga 2 juta dollar, dan sudah sold out pula! Ketika kami diajak mengunjungi proyek apartemennya yang masih gres itu dia bercerita bagaimana upaya mewujudkan proyek ini, mulai dari mencari rekanan investor, pembiayaan bank hingga pemilihan rekanan builder. Semuanya dari nol. Sekarang dia berancang untuk pembangunan tower ke dua.

Mudah-mudahan kisah sukses ini menjadi inspirasi kawan-kawan yang lain.









Sabtu, 05 Januari 2008

Pengajian ala Kampung

Sabtu sore saat saya menulis blog ini, pikiran melayang ke suasana pengajian yang rutin diadakan setiap Sabtu sore di Auckland. Dilakukan seperti ala di kampung-kampung (tapi yg ini jadi Kampoeng Auckland deh namanya), yaitu ada seorang yang bertindak sebagai penceramah, kemudian yang lain takzim mendengarkan sambil duduk di tikar membentuk lingkaran. Di penghujung acara kemudian dibuka kesempatan tanya jawab.

Beberapa tamu pembicara dari tanah air sudah pernah memberikan tausiah di majelis yang diprakarsai oleh Himpunan Umat Muslim Indonesia Auckland (HUMIA). Sebut saja Aa Gym, Usman Mansyur, Astri Ivo, dll. Kegiatan yang banyak mengandung unsur gotong royong dan persamaan nasib sebagai perantauan ini sudah berlangsung beberapa tahun. Selesai pengajian kemudian semua peserta makan malam bersama dengan makanan bawaan (pot luck) masing-masing keluarga. Pengajian biasanya diadakan di community hall dengan menyewanya beberapa jam. Pengajian ini terbuka untuk dihadiri oleh siapa saja yang ingin mendapatkan siraman ruhani dan sekaligus bersilaturahmi.

Komunitas masyarakat Indonesia di Auckland selain yang muslim juga ada yang lain seperti KKIA (Keluarga Katolik Indonesia Auckland), Jemaat Gereja St. Andrew, dan lain sebagainya. Sedangkan wadah bagi semua warga ada PERMIA (Persatuan Masyarakat Indonesia Auckland) dan PPIA (Persatuan Pelajar Indonesia Auckland) yang biasanya bekerja sama membuat acara 17 Agustusan. Komunitas Indonesia di kota lain pun ada, seperti di Hamilton, Palmerston North, Wellington, Christchurch dan Dunedin.

Di negeri orang, sesama perantau dari tanah air sudah semestinya saling menganggap sebagai keluarga juga.

"So Easy..."

Liburan summer di NZ bisa sampai 2 bulan, yaitu dari awal Desember hingga akhir Januari. Tak heran kalau banyak orang Indonesia yang berlibur ke tanah air, termasuk baru-baru ini anak kenalan kami di NZ yang berusia 16 tahun datang berlibur (sebut saja A). Lalu dalam suatu kesempatan kami pergi bersama dan dia bercerita pengalamannya yang konyol ini.

Ketika ke Bandung si A tinggal di keluarganya beberapa hari dan iseng-iseng dia menayakan apakah bisa membuat SIM di Bandung ini? Lalu diantarlah si A ke tempat pembuatan SIM dengan membawa KTP saudara sepupunya. Ya, karena si A belum punya KTP di Indonesia sebab usia baru 16 (dan dia adalah permanent resident atau PR di NZ).

Berhasilkah? Yup, tentu. Uang kan bisa bicara. Hanya dengan 300 ribu perak hari itu juga jadilah SIM buat si A, tapi tertera namanya dengan nama sang sepupu (sebutlah M). Kalau dulu kita membuat SIM dengan "menembak" umur, sekarang bahkan dengan KTP orang lain urusan bisa beres meski foto di KTP jelas-jelas beda dengan yang mau membuat SIM. Kata si A; "it was so easy Oom..." ujarnya sambil terkekeh-kekeh.

Pada saat si A bercerita itu beberapa hari sebelumnya saya baru baca di koran laporan Indonesia Transparency, bahwa lembaga terkorup di 2007 di Indonesia ini masih lembaga kepolisian... (klop kan?)

Jumat, 04 Januari 2008

Masihkah Kita Bangsa yang Ramah?

Berkendara di Jakarta 1 - 2 tahun terakhir ini bak suatu perjuangan hidup dan mati. Begitu keluar dari rumah kita seolah bakal menghadapi sebuah pertempuran, baik fisik apalagi batin. Kalau fisik tidak kuat berjam-jam di kendaraan akibatnya badan pegal. Kalau batin yang tak kuat, kolesterol naik, hipertensi meningkat, jantung berdebar, dlsb.

Kemarin saya menyaksikan seorang supir bus yang sedang ngetem berlari mengejar pengendara sepeda motor dengan rantai di tangan yang siap dihujamkan. Sebelumnya, si pengendara motor menendang body bus sambil memaki sang supir (mungkin karena motornya terserempet). Lalu si supir turun dari bus sambil membawa rantai tadi. Barangkali skestsa peristiwa seperti itu beragam terjadi dalam seharinya di Jakarta. Memang, melihat ulah pengemudi angkutan umum, terutama bus dan angkot, kita hanya bisa mengurut dada. Untuk terhindar dari stress, istri saya sering mengingatkan saya untuk berempati kepada mereka dan mensyukuri kalau kita masih bisa naik mobil yang dingin.

Lalu setelah membandingkan dengan pengalaman berkendara di Auckland, saya berkesimpulan bahwa kebanyakan kita memulai berkendara mobil atau motor dengan belajar secara teknis. Bagaimana maju, mundur, belok, ngerem, dlsb. Lalu kita ikut ujian ambil SIM yang kerap merupakan "sandiwara", karena uang berbicara. Sedangkan di NZ pada umumnya, ujian SIM dilakukan untuk melihat apakah kita sudah dianggap layak untuk berlalu lintas dengan baik dan benar, bukan sekedar aspek teknis maju, mundur dan belok.

Maka, berbekal kebisaan berkendara secara teknis tanpa diajari berlalu lintas yang tertib dan sopan, jadilah setiap hari kita melihat para pengendara yang tidak lagi ramah, egois, adu kuat, pokoknya benar-bnar seperti hukum rimba.

Nah, setujukah anda bahwa bangsa yang ramah, sopan dan toleran tercermin dari bagaimana mereka berkendara?

Rabu, 02 Januari 2008

Tentang 200 Universitas Terbaik Dunia 2007

Salah satu laporan di Majalah Campus Asia vol. 2 number 1, edisi Maret 2008 (hebat ya, edisi Maret 2008 sudah beredar di Januari 2008, penerbitnya Universitas Pelita Harapan -- grup Lippo), adalah tentang 200 universitas unggulan dunia 2007 yang sumbernya diambil dari Times Higher Education Suplement. Penilaiannya berdasarkan berbagai variabel, termasuk rasio pengajar -- mahasiswanya, juga jumlah mahasiswa internasionalnya.

Sebagai orang Asia, saya bangga juga karena di 50 besar ada: University of Tokyo (17), University of Hongkong (18), National University of Singapore (33), Peking University (36), Chinese University of Hongkong (38), Tsinghua University (40), Osaka University (46). Dari Australia ada 6 di 50 besar ini, yaitu: ANU (16), University of Melbourne (27), University of Sydney (31), University of Queensland (33), Monash University (43) dan University of New South Wales (44).

Bagaimana dengan universitas di NZ dalam kancah 200 universitas unggulan dunia ini? Ada University of Auckland (50) -- masih lebih baik dari University of Western Australia (62) -- kemudian ada University of Otago - di kota Dunedin (114) dan University of Canterbury - di kota Christchurch (188). Sedangkan yang paling buncit di posisi 200 adalah RMIT (Australia). Di ASEAN, kita hanya diwakili oleh Singapura, termasuk Nanyang Technological University (69).

Yah, kita harus sabar sambil terus ikhtiar biar suatu hari nanti laporan seperti ini menempatkan Universitas Cendrawasih di posisi 5 dan Universitas Negeri Jember di posisi 2. Amin.

Kurang Nasionalis?

Seorang kenalan berkomentar kenapa saya memberi judul "I Luv New Zealand" pada blog ini, karena menurutnya terdengar kurang nasionalis. Saya jadi teringat waktu memulai pembuatan blog ini, memang harus jujur diakui pemberian judulnya terpengaruh oleh kekaguman saya terhadap NZ. Sebuah negara kecil yang sangat indah alamnya, tetapi juga dikelola secara efektif dan efisien. Harkat manusia dijunjung tinggi bukan sebagai basa-basi. Sesederhana bagaimana mereka menyediakan akses bagi penderita cacat ke tempat-tempat publik. Sebuah negara yang dikelola dengan budaya barat tetapi sangat 'down to earth' dan bukan bergaya glamour nan mewah. Negara yang industri utamanya berbasis pertanian / perkebunan / peternakan, yang merupakan salah satu kekuatan ekonominya sejak dulu.

Mereka tidak harus membuat lompatan jauh dengan memacu teknologi pesawat terbang yang boros anggaran, tapi cukuplah menciptakan teknologi pengolahan minuman anggur agar berkelas dunia. Atau, menjaga sapi dan domba mereka tetap sehat untuk diekspor daging dan bulu (domba) nya. Menciptakan bibit unggul untuk buah kiwi, apel dan lainnya. Menggratiskan pendidikan di sekolah negeri hingga SMA. Dll, dll. Last but not least, membiarkan rakyatnya tetap kritis kepada pemerintah karena mereka adalah pembayar pajak yang ta'at dan sulit mencari petugas pajak yang nakal. Nah, bukankah semua itu juga adalah dambaan kita di Indonesia? (pssst, buat ibu2 yang kecewa dengan praktek poligami, di NZ secara hukum melarang poligami, lho).

Saya cuma bisa menjawab "tudingan" teman saya di atas dengan memintanya untuk membaca 'sub title' blog ini, yaitu: "Barbagi Cerita untuk Manfaat Bersama". Semoga teman ku ini paham bahwa kita tidak usah malu untuk meniru hal-hal yang baik dari negri orang.