Menjelang Ramadhan ini pemerintah di tanah air, MUI dan aparat keamanan dan ketertiban kota sibuk membersihkan segala potensi maksiat dan yang berbau haram. Cafe-cafe yang menyelenggrakan musik hidup di Depok bahkan dilarang sama sekali beroperasi. Semua ini tujuannya agar mereka yang beribadah puasa bisa lebih khusyuk atau tenang dalam menjalankannya. Rumah-rumah makan pun diminta menggunakan tirai di jendelanya.
Dalam hati kecil saya berkata, kenapa ya di bulan puasa selalu ada kehebohan-jehebohan seperti itu, dengan alasan untuk menghormati orang yang berpuasa. O ya, mungkin karena di tanah air mayoritasnya adalah umat Islam. Lalu bagaimana dengan umat Islam yang menjadi minoritas di suatu negara? Apakah ibadah puasa mereka kemudian menjadi berantakan gara-gara rumah makan, cafe, klub malam, dll, tetap beroparasi? Bukankah makna puasa tidak sesederhana menahan lapar dan haus, tetapi lebih soal pengendakian diri secara total. Dan, kalau berpuasa itu dianalogikan sebagai ajang latihan, maka berikanlah latihan yang seperti keadaan sesungguhnya, yaitu berhadapan langsung dengan berbagai godaan di depan mata. Itulah realita kehidupan yang harus dihadapi umat Islam. Layaknya jargon para tentara, "lebih baik banjir keringat saat latihan daripada banjir darah di pertempuran".
Jadi, hemat saya stop segala bentuk pengistimewaan semu itu. Atau, sekalian pemerintah konsisten melarang segala bentuk potensi maksiat dan haram itu sepanjang tahun, bukan cuma di bulan puasa saja.
Sabtu, 30 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
damn right .. dadang you are simply the greatest
Posting Komentar