Apa perbedaan mendasar yang dirasakan ketika tinggal di New Zealand dengan tinggal di Indonesia. Jawaban saya sederhana; keseimbangan hidup.
Tak heran kalau dari riset mengatakan kualitas waktu keluarga di New Zealand adalah salah satu yang tertinggi di dunia. Bahkan ketika para pengusaha retail berniat memperpanjang jam buka toko atau pusat belanja, langsung mendapat protes dari para pekerja. Sebab, waktu buat keluarga dikuatirkan akan berkurang.
Orang kiwi (sebutan penduduk NZ) sering terheran-heran dengan bagaiamana ngototnya para imigran asia mencari uang siang dan malam. Seolah takut mati kelaparan dan kekurangan uang. Bagi mereka asal bisa pergi ke pantai atau ke taman dengan keluarga sambil membawa bekal, itu sudah merupakan kenikmatan luar biasa, meskipun pekerjaan mereka adalah handyman, plumber atau pekerja pabrik yang ahir-ahir ini posisi itu banyak direbut oleh pekerja Asia.
Jadi magic word nya; k e s e i m b a n g a n.
Sabtu, 30 Januari 2010
Kembali ke Selera Asal
Anak kami, Vikra, sudah 2 bulan berlibur di Jakarta. Ahir bulan ini dia berencana kembali ke Auckland untuk kuliah di semester 3. Liburan musim panas memang bisa sangat panjang sampai 3 bulanan. Apartment yang dia sewa bersama beberapa temannya dia lepas dulu, nanti menjelang kuliah dia cari lagi apartment sekitar kampus, di AU. Barang2 dia titipkan dulu di sejumlah temannya. Begitulah suka dukanya jadi mahasiswa di LN.
Kalau dari cerita Vikra, soal makan memang menjadi kurang terperhatikan. Makanan dari catering sering lebih cepat habis karena diserbu oleh kawan-kawan yang suka mampir di apartment nya. Walhasil, kalau lapar berat dan tak ada makanan, dia turun kebawah ke minimart 24 jam yang menjual nasi goreng oriental dlm kemasan frozen. Dibawa keatas, panaskan di microwave, lalu hap. Atau kalau malas turun, cukup makan cereal dengan susu.
Duh, hati teriris juga membayangkan apakah gizinya terpenuhi?
Nah, selama liburan di Jakarta, koki di rumah boleh dikata memasak sesuai order Vikra. Semacam membalas kerinduan akan aneka makanan Indonesia, misalnya rawon, oseng tempe, pepes tahu, tempe mendoan, sup kacang merah, dll. Itung-itung perbaikan gizi dan selera. Biar gimanapun, sekali lidah melayu tetap selera melayu ya Vik.
Kalau dari cerita Vikra, soal makan memang menjadi kurang terperhatikan. Makanan dari catering sering lebih cepat habis karena diserbu oleh kawan-kawan yang suka mampir di apartment nya. Walhasil, kalau lapar berat dan tak ada makanan, dia turun kebawah ke minimart 24 jam yang menjual nasi goreng oriental dlm kemasan frozen. Dibawa keatas, panaskan di microwave, lalu hap. Atau kalau malas turun, cukup makan cereal dengan susu.
Duh, hati teriris juga membayangkan apakah gizinya terpenuhi?
Nah, selama liburan di Jakarta, koki di rumah boleh dikata memasak sesuai order Vikra. Semacam membalas kerinduan akan aneka makanan Indonesia, misalnya rawon, oseng tempe, pepes tahu, tempe mendoan, sup kacang merah, dll. Itung-itung perbaikan gizi dan selera. Biar gimanapun, sekali lidah melayu tetap selera melayu ya Vik.
Langganan:
Postingan (Atom)