Akhir-akhir ini di tanah air upaya perlawanan sebagian masyarakat Indonesia tentang rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sedang gencar dilakukan. Lokasi yang dipilih pemerintah di kaki Gunung Muria dekat Jepara, Jawa Tengah. Kita memang serba salah, ketika minyak bumi semakin mahal dan pasokan batubara masih tergantung cuaca dalam jalur logistiknya, maka pemerintah dan DPR kemudian cepat-cepat memilih nuklir sebagai alternatif (tertuang dalam UU).
Padahal gas kita masih melimpah ruah dan tanaman jarak serta kelapa sawit untuk bahan bio-diesel belum terlalu diexplore maksimal. Mungkin para elite politik tak mau kalah gengsi dengan negara dunia ketiga lain yang sudah mengunakan teknologi nuklir. Sebut saja yang terakhir sedang ramai, Iran.
Sementara masyarakat yang menentang, seperti salah satunya Gus Dur, kuatir kalau PLTN jadi diimplementasi di Indonesia. Kekuatirannya terutama pada 'attitude' dan 'habit' orang Indonesia yang kerap sembrono dan tidak disiplin, apalagi ini menyangkut teknologi tinggi yang super sensitif. Trauma seperti tragedi Chernobyl terbayang di depan mata. Lha wong Russia yang sudah maju saja masih bisa 'kecolongan', bagaimana dengan Indonesia? Baru-baru ini salah satu direktur PLN dipecat oleh pemerintah lantaran dianggap teledor mengelola jaringan listrik Jawa-Bali, sehingga sempat black out beberapa kali.
Rasanya tidak lucu kan kalau 'mal-function' reaktor terjadi hanya gara-gara operator yang sedang bertugas ramai2 keasyikan main gaple supaya tidak ngantuk. Itu namanya mengelola teknologi canggih (sekaligus berbahaya) ala ronda kampung atau siskamling.
New Zealand sementara ini masih tegas menolak PLTN. Mereka masih memilih bendungan air, angin dan batubara sebagai sumber energi penggerak utama mesin pembangkit tenaga listriknya. NZ dan Indonesia sebagai negara yang punya garis pantai bisa juga melirik tenaga ombak sebagai alternatif energi yang tak habis-habis.
Rabu, 09 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar