Menyambut hari Raya di Auckland tentu berbeda dengan di tanah air. Yang sangat saya rasakan rasa kehilangan menikmati nada dahsyat dari takbiran. Mendengar nada takbiran, hati saya selalu terenyuh, seperti merasakan suatu keadaan yang maha kecil dihadapan yang Maha Besar.
Keesokannya, pas hari lebaran, umat Islam di Auckland berbondong sholat Ied di lapangan olah raga atau gedung pertemuan. Suasananya lebih global, karena kita bercampur dengan orang Somalia, Afrika Selatan, Mesir, Tunisia, Jazirah Arab, Iran, Afghan, Pakistan, India, Malaysia dan orang bule Kiwi yang muslim. "Eid Mubarak", begitu ucapan terlontar ketika saling bersalaman selepas sholat Ied. Setelah itu, makanan tersaji di meja-meja yang panjang, dan kitapun menikmatinya dalam aneka rasa yang mewakili etnik muslim yang ada di Auckland.
Allahu Akbar Allahu Akbar...., hatipun tercekat dan pikiran melayang pada suasana lebaran di tanah air.
Selasa, 30 September 2008
We are What We Eat
Besok 1 Oktober adalah Hari Raya Idul Fitri di tanah air. Seperti biasa harga bahan makanan naik, termasuk daging sapi dan kambing. Makanan khas lebaran antara lain rendang daging, sambal goreng ati, opor ayam, ketupat, sayur lodeh labu, dll. Kemanangan di ujung Ramadhan dirayakan dengan aneka macam makanan khas di atas. Begitu bersemangatnya merayakan hari kemenangan, sampai tak mengindahkan lagi aspek thoyibah atau yang baik buat masing-masing individu.
Makan manis-manis halal buat saya pribadi, tetapi tidak thoyib, karena selain sudah usia mendekati 50, juga ada faktor genetik potensi diabet (4 orang dari 9 saudara kakak beradik di keluarga saya sudah terkena diabet). Padahal Allah menyuruh kita merawat tubuh ini sebaik-baiknya. Maka, sepantasnya kita bisa memilih dan memilah santapan hari raya secara bijak. Pilihlah bukan hanya karena halal, tetapi juga karena thoyib buat tubuh kita. Karena dengan begitu kita sudah menjalankan perintah Allah secara lebih menyeluruh dalam urusan makanan ini.
Masih urusan makanan, statistik mengatakan penderita penyakit jantung koroner banyak diidap masyarakat Sumatera. Mungkin karena masakannya banyak menggunakan santan dan itu dikonsumsi terus menerus hampir sepanjang usianya. Hemat saya banyak masakan Manado, Bali dan Sunda yang masuk kategori sehat. Mungkin sudah waktunya ada suatu penelitian untuk menyeleksi apa-saja makanan nusantara yang masuk kategori sehat.
Anda tertarik melakukannya?
Makan manis-manis halal buat saya pribadi, tetapi tidak thoyib, karena selain sudah usia mendekati 50, juga ada faktor genetik potensi diabet (4 orang dari 9 saudara kakak beradik di keluarga saya sudah terkena diabet). Padahal Allah menyuruh kita merawat tubuh ini sebaik-baiknya. Maka, sepantasnya kita bisa memilih dan memilah santapan hari raya secara bijak. Pilihlah bukan hanya karena halal, tetapi juga karena thoyib buat tubuh kita. Karena dengan begitu kita sudah menjalankan perintah Allah secara lebih menyeluruh dalam urusan makanan ini.
Masih urusan makanan, statistik mengatakan penderita penyakit jantung koroner banyak diidap masyarakat Sumatera. Mungkin karena masakannya banyak menggunakan santan dan itu dikonsumsi terus menerus hampir sepanjang usianya. Hemat saya banyak masakan Manado, Bali dan Sunda yang masuk kategori sehat. Mungkin sudah waktunya ada suatu penelitian untuk menyeleksi apa-saja makanan nusantara yang masuk kategori sehat.
Anda tertarik melakukannya?
Senin, 15 September 2008
Thika dan Dian
Thika dan Dian adalah dua putri Aceh yang seketika menjadi yatim piatu menyusul bencana tsunami tahun 2004 yang lalu. Selepas lulus dari SMA Fajar Hidayah, mereka ingin sekali bisa melanjutkan sekolah ke luar negri. Hampir saja mimpi itu menjadi kenyataan, tatkala mereka "diangkat" oleh sebuah keluarga di Singapura. Sayangnya, sang orang tua angkat belum mampu menyekolahkan mereka di Singapura lantaran sang orangtua angkat sendiri masih punya 4 anak kandung mereka yang juga memerlukan biaya. Dian dan Thika pun kembali ke tanah air, dipanggil oleh pengurus Sekolah Fajar Hidayah di Jakarta. Bu Draga, demikian nama pengurus yayasan, sedang mengusahakan sekolah dengan bea siswa di salah satu universitas swasta di Bogor. Mudah-mudahan mereka diterima di Bogor, dan untuk sementara mimpi bersekolah di luar negeri tetap menjadi harapan yang tersimpan di sudut hati masing-masing.
Dalam nasehat saya kepada mereka, saya tekankan untuk jangan memadamkan mimpi itu. Siapa tahu ada keluarga di New Zealand yang mau "mengangkat" mereka dan menyekolahkannya di negeri Kiwi ini.
Dalam nasehat saya kepada mereka, saya tekankan untuk jangan memadamkan mimpi itu. Siapa tahu ada keluarga di New Zealand yang mau "mengangkat" mereka dan menyekolahkannya di negeri Kiwi ini.
Senin, 01 September 2008
Ibadah Sakral, Perilaku Tak Dijamin...
Hari ini 1 September 2008, umat Islam di tanah air memulai ibadah shaum Ramadhan nya. Di New Zealand sendiri baru akan mulai esok hari. Pikiran pun melayang ke masa lalu, ketika menjalani ibadah puasa Ramadhan di Auckland. Ketika itu jatuh dibulan menjelang puncak musim panas, sehingga matahari pun baru tergelincir sekitar pukul 9.30 malam. Kalau muslim di tanah air sudah bisa berbuka sekitar pukul 6 sore, kami yang tinggal di Auckland saat itu masih harus menahannya 3,5 jam lagi.
Ujian lainnya, cafe, restaurant dan berbagai hiburan tetap beroperasi. Meskipun New Zealand bukan negara agama, namun tradisi kristen sangatlah mempengaruhi kebiasaan rakyatnya. Sehingga libur nasional sama sekali tak ada yang berhubungan dengan peringatan hari-hari besar Islam. Maka, sholat tarawih atau bahkan sholat Ied, diadakan di hari kerja dengan menyewa tempat-tempat yang luas seperti sport hall, dll. Setelah usai sholat Ied, sebagian besar kemudian bergegas ke tempat aktifitas rutinnya seperti bekerja atau sekolah. Sungguh jauh dari suasana puasa dan lebaran di tanah air.
Ketika saya sempat bekerja di restauran cepat saji dekat rumah, manager in duty yang orang Maori terheran-heran mengetahui bahwa di saat itu saya bekerja tanpa makan dan minum sampai pada waktunya berbuka.
Begitulah suka duka berpuasa di negeri orang yang mana umat Islam nya menjadi minoritas. Tapi saya dan keluarga merasa plong bisa melewati dengan tetap ikhlas. Apalagi ujiannya cukup berat, mulai dari jam berbuka yang mundur juga melihat suasana normal sehari-hari di mana orang bersantai makan di cafe-cafe pinggir jalan.
Sementara saat itu melalui berita online terbaca bagaimana sekumpulan orang berpeci putih mengatasnamakan organisasi Islam dengan beringas sibuk mengobrak-abrik cafe-cafe yang dianggap menawarkan maksiat atau barang haram. Kenapa mereka lakukan hanya jelang bulan puasa? Atau kenapa mereka tidak mengobrak-abrik institusi-institusi yang banyak menyusahkan rakyat karena berbagai pungutan liarnya? Jangan-jangan ini karena ibadah itu sendiri sudah dituhankan oleh mereka. Ibadah harus sakral dan tanpa gangguan, tetapi perilaku sehari-hari tidak dijamin....
Ujian lainnya, cafe, restaurant dan berbagai hiburan tetap beroperasi. Meskipun New Zealand bukan negara agama, namun tradisi kristen sangatlah mempengaruhi kebiasaan rakyatnya. Sehingga libur nasional sama sekali tak ada yang berhubungan dengan peringatan hari-hari besar Islam. Maka, sholat tarawih atau bahkan sholat Ied, diadakan di hari kerja dengan menyewa tempat-tempat yang luas seperti sport hall, dll. Setelah usai sholat Ied, sebagian besar kemudian bergegas ke tempat aktifitas rutinnya seperti bekerja atau sekolah. Sungguh jauh dari suasana puasa dan lebaran di tanah air.
Ketika saya sempat bekerja di restauran cepat saji dekat rumah, manager in duty yang orang Maori terheran-heran mengetahui bahwa di saat itu saya bekerja tanpa makan dan minum sampai pada waktunya berbuka.
Begitulah suka duka berpuasa di negeri orang yang mana umat Islam nya menjadi minoritas. Tapi saya dan keluarga merasa plong bisa melewati dengan tetap ikhlas. Apalagi ujiannya cukup berat, mulai dari jam berbuka yang mundur juga melihat suasana normal sehari-hari di mana orang bersantai makan di cafe-cafe pinggir jalan.
Sementara saat itu melalui berita online terbaca bagaimana sekumpulan orang berpeci putih mengatasnamakan organisasi Islam dengan beringas sibuk mengobrak-abrik cafe-cafe yang dianggap menawarkan maksiat atau barang haram. Kenapa mereka lakukan hanya jelang bulan puasa? Atau kenapa mereka tidak mengobrak-abrik institusi-institusi yang banyak menyusahkan rakyat karena berbagai pungutan liarnya? Jangan-jangan ini karena ibadah itu sendiri sudah dituhankan oleh mereka. Ibadah harus sakral dan tanpa gangguan, tetapi perilaku sehari-hari tidak dijamin....
Langganan:
Postingan (Atom)