Berkendara di Jakarta 1 - 2 tahun terakhir ini bak suatu perjuangan hidup dan mati. Begitu keluar dari rumah kita seolah bakal menghadapi sebuah pertempuran, baik fisik apalagi batin. Kalau fisik tidak kuat berjam-jam di kendaraan akibatnya badan pegal. Kalau batin yang tak kuat, kolesterol naik, hipertensi meningkat, jantung berdebar, dlsb.
Kemarin saya menyaksikan seorang supir bus yang sedang ngetem berlari mengejar pengendara sepeda motor dengan rantai di tangan yang siap dihujamkan. Sebelumnya, si pengendara motor menendang body bus sambil memaki sang supir (mungkin karena motornya terserempet). Lalu si supir turun dari bus sambil membawa rantai tadi. Barangkali skestsa peristiwa seperti itu beragam terjadi dalam seharinya di Jakarta. Memang, melihat ulah pengemudi angkutan umum, terutama bus dan angkot, kita hanya bisa mengurut dada. Untuk terhindar dari stress, istri saya sering mengingatkan saya untuk berempati kepada mereka dan mensyukuri kalau kita masih bisa naik mobil yang dingin.
Lalu setelah membandingkan dengan pengalaman berkendara di Auckland, saya berkesimpulan bahwa kebanyakan kita memulai berkendara mobil atau motor dengan belajar secara teknis. Bagaimana maju, mundur, belok, ngerem, dlsb. Lalu kita ikut ujian ambil SIM yang kerap merupakan "sandiwara", karena uang berbicara. Sedangkan di NZ pada umumnya, ujian SIM dilakukan untuk melihat apakah kita sudah dianggap layak untuk berlalu lintas dengan baik dan benar, bukan sekedar aspek teknis maju, mundur dan belok.
Maka, berbekal kebisaan berkendara secara teknis tanpa diajari berlalu lintas yang tertib dan sopan, jadilah setiap hari kita melihat para pengendara yang tidak lagi ramah, egois, adu kuat, pokoknya benar-bnar seperti hukum rimba.
Nah, setujukah anda bahwa bangsa yang ramah, sopan dan toleran tercermin dari bagaimana mereka berkendara?
Jumat, 04 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar