Rabu, 23 April 2008

Makin Kukuh

Baru saja terbetik berita PM NZ, Helen Clark, mendapatkan penghargaan sebagai salah satu tokoh dunia yang secara signifikan membantu pemecahan masalah global warming. Penghargaan yang diberikan oleh PBB itu diberikan kepada Helen Clark karena komitmennya buat menjadikan NZ sebagai negara yang menggunakan 90% kebutuhan energinya dengan energi terbarukan di thn 2025.

Penghargaan buat PM NZ ini tentu saja makin mengukuhkan NZ sebagai salah satu negara di dunia yang paling peduli dengan masalah lingkungan. Sementara di tanah air, kita masih berkutat dengan masalah-masalah perlawanan terhadap elite politik yang dengan seenaknya mengalihkan alih fungsi hutan lindung menjadi berbagai proyek yang sarat dengan uang siluman.

Jangan salahkan alam atau bahkan Tuhan, kalau berbagai bencana menjadi akrab dengan bangsa Indonesia.

Sabtu, 19 April 2008

Arti Jalan Mulus

Tertarik saya mendengar pernyataan ketua Masyarakat Transportasi Indonesia, di TV dalam sebuah acara talk show, bahwa ada hipotesa "semakain banyak jalan yang hancur di sebuah negara berarti menggambarkan semakin besar tingkat korupsinya dan tentu berlaku sebaliknya".

Di NZ saya cukup frustrasi mencari jalan publik yang rusak dan sebaliknya di tanah air. Mudah-mudahan aparat yang memakan uang rakyat yang seharusnya digunakan penuh buat memperbaiki jalan, diberikan balasan yang setimpal oleh Tuhan. Amin.

Kamis, 10 April 2008

Selamat Jalan Alistair

Baru saja SMS masuk, tertulis kabar Alistair Tait, suami dari Irena Tait, meninggal dunia jam 12.20 siang waktu AKL. Terus terang tidak banyak yang saya kenal dari beliau, selain senyumnya yang selalu mengembang. Perkenalan pertama saya dengan beliau ketika kami sedang sibuk menyiapkan acara untuk masyarakat Indonesia di Auckland, beliau dengan ringan tangan membantu kami yang sedang kerepotan memasang spanduk. Dengan badan yang ekstra tinggi, tentu uluran tangannya jadi sangat berarti.

Tahun lalu kami berkesempatan untuk makan malam bersama ketika mereka sedang berkunjung ke Jakarta. Sebagai "tukang insinyur", rupanya saat itu beliau sedang mengerjakan suatu proyek pembangunan di Sumatera. Bahkan dulu, ia sempat lama tinggal di Jakarta ketika tempatnya bekerja masih beroperasi di Indonesia. Dalam perjalanan sepulang makan malam itu, ia menunjukkan tanda-tanda masih mengenal kota Jakarta dengan menyebut jalan-jalan utama. Bahkan ia masih ingat restoran Jepang tertua di Jakarta yang ada di kawasan Cikini (maksudnya Kikugawa). Pertemuan makan malam itu serasa baru kemarin saja, dan saat itu beliau tampak masih sehat dan gagah dengan rasa humornya yang khas.

Selamat jalan Alistair, selamat kembali ke yang empunya kehidupan ini.

Rabu, 09 April 2008

RIP: Ellaine

Saya kaget sekali mendengar dari Vikra anak kami, tetangga di belakang rumah di AKL, Ellaine - usia diatas 80 tahun, meninggal dunia sekitar hari paskah yang lalu. Ia tetangga kami yang luar biasa. Hidup sendiri diusia senja tak membuatnya kesulitan. Hampir setiap pagi ia usahakan untuk bisa keluar rumah berjalan-jalan dengan tongkatnya. Ia begitu ramah dan seringkali mengundang saya dan istri dan anak-anak mampir ke rumahnya sekedar buat minum teh bersama sambil ngobrol macam-macam (pengaruh budaya Inggris, dimana minum teh menjadi semacam ritual tersendiri).

Sebagai bekas guru disebuah SD Takapuna, tampak sekali ketegasan diantara kelembutannya. Ia bisa bercerita tentang masa lalu di daerah tinggal kami dengan semangat, karena Ellaine memang orang lama di Takapuna, suburb di mana kami tinggal.

Selamat jalan Ellaine, kami kehilangan seorang 'ibu' di rantau. Semoga Allah memberinya tempat yang layak. Amin.

Keasyikan Main Gaple

Akhir-akhir ini di tanah air upaya perlawanan sebagian masyarakat Indonesia tentang rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sedang gencar dilakukan. Lokasi yang dipilih pemerintah di kaki Gunung Muria dekat Jepara, Jawa Tengah. Kita memang serba salah, ketika minyak bumi semakin mahal dan pasokan batubara masih tergantung cuaca dalam jalur logistiknya, maka pemerintah dan DPR kemudian cepat-cepat memilih nuklir sebagai alternatif (tertuang dalam UU).

Padahal gas kita masih melimpah ruah dan tanaman jarak serta kelapa sawit untuk bahan bio-diesel belum terlalu diexplore maksimal. Mungkin para elite politik tak mau kalah gengsi dengan negara dunia ketiga lain yang sudah mengunakan teknologi nuklir. Sebut saja yang terakhir sedang ramai, Iran.

Sementara masyarakat yang menentang, seperti salah satunya Gus Dur, kuatir kalau PLTN jadi diimplementasi di Indonesia. Kekuatirannya terutama pada 'attitude' dan 'habit' orang Indonesia yang kerap sembrono dan tidak disiplin, apalagi ini menyangkut teknologi tinggi yang super sensitif. Trauma seperti tragedi Chernobyl terbayang di depan mata. Lha wong Russia yang sudah maju saja masih bisa 'kecolongan', bagaimana dengan Indonesia? Baru-baru ini salah satu direktur PLN dipecat oleh pemerintah lantaran dianggap teledor mengelola jaringan listrik Jawa-Bali, sehingga sempat black out beberapa kali.

Rasanya tidak lucu kan kalau 'mal-function' reaktor terjadi hanya gara-gara operator yang sedang bertugas ramai2 keasyikan main gaple supaya tidak ngantuk. Itu namanya mengelola teknologi canggih (sekaligus berbahaya) ala ronda kampung atau siskamling.

New Zealand sementara ini masih tegas menolak PLTN. Mereka masih memilih bendungan air, angin dan batubara sebagai sumber energi penggerak utama mesin pembangkit tenaga listriknya. NZ dan Indonesia sebagai negara yang punya garis pantai bisa juga melirik tenaga ombak sebagai alternatif energi yang tak habis-habis.

Minggu, 06 April 2008

Masih dari Cerita Nonton AAC

Tersebutlah seorang teman kita dari Auckland (AKL) yang sedang di Indonesia mencari-cari kesempatan buat menonton AAC di bioskop. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya ia menemukan jam yang cocok di malam hari. Tak ambil pusing, ia pilih menonton di studio khusus yang penontonnya terbatas dengan harga tiket 100 ribu rupiah.

Ketika sudah di dalam, celingak-celinguk, kok orang-orang menonton berpasangan ya? Kursinya memang khusus untuk sepasang-sepasang. Hmmm, rupanya orang pacarannya di sini toh? pikirnya. Dia lirik lagi ke sebelah, hmmm, kok pada pakai selimut ya? Memang dengan kursi ala 'lazy boy' yang bisa sedikit direbahkan itu, selimut jadi penting. Maka, dia rogoh-rogoh samping kursi, nah ternyata memang selimut merupakan fasilitas standar.

Menjelang film mulai, para waiter lalu lalang membawakan makanan di nampan buat penonton. Hmmm, teman kita ini lalu berpikir, gile juga, dengan tiket 100 ribu rupiah kita dapat kursi enak, selimut dan makanan. Huebat tenan...

Tapi 5 menit... 10 menit..., tak ada waiter yang mengantarkan kudapan padanya. Sampai akhirnya ia tersadar rupanya harga tiket belum termasuk makanan. Hampir saja tadi dia kegirangan kalau memang akan dapat jatah makanan. Tentu akan panjang ceritanya nanti ketika sudah sampai ke AKL.


SBY Pun Menangis

Geger Film AAC (Ayat-Ayat Cinta) belum berhenti. Rekor penonton sudah mencapai sekitar 3,5 juta. Terakhir, giliran Presiden SBY dan rombongan menonton. Setelahnya SBY mengaku ia mengusapkan air mata berkali-kali sepanjang menonton AAC.

Keesokan harinya, beberapa media mempertanyakan apakah buat korban lumpur Lapindo beliau juga menangis? Atau, apakah ia meratap ketika menyaksikan antrean panjang rakyat menunggu pembelian minyak tanah dan gas? Apakah dia tersedu mendengar berita gizi buruk di santero tanah air yang mengakibatkan rakyat kembali makan nasi aking?

Itulah kalau urusan air mata di politik kan.

Aksi FBI

Anak kami, Vikra, yang masih sekolah di Auckland, punya pengalaman menarik ketika mulai sekolah di Takapuna Grammar School tahun 2004 (kalau di tanah air setingkat SLTA). Karena matanya yang terlihat sipit, teman-teman barunya mengira ia seorang Korea. Apalagi ketika baru masuk, ia "dibawa" temannya yang Korea untuk diperkenalkan ke teman-temannya.

Lala-lama tentu saja ketahuan kalau dia bukan orang Korea. Apalagi belakangan dia diketahui sebagai muslim, makanya lalu Vikra pun dekat bermain dengan teman-teman muslim asal Iraq (di NZ lumayan banyak warga Iraq yang lari dari negaranya karena tidak cocok dengan Saddam Husein). Maka, diantara orang Iraq yang hidungnya bangir dan berbadan besar, terselip seorang anak dengan wajah "Korea" yang badannya lebih kecil.

Namun berjalannya waktu, sekarang dia sudah bermain dengan siapa saja. Bahkan kelompok "film" nya sangat multi etnik, ada yang dari Iraq, Serbia dan Kiwi. Begitulah pergaulan anak muda, akan mencair dengan sendirinya. Dalam situs pribadinya, Vikra sendiri menyebut dirinya sebagai Full Blood Indonesian (FBI).

Maka, bukan tidak mungkin mereka saling mengenal budaya asli masing-masing temannya. Suatu kali, neneknya Vikra mengirimkan CD berisi musik-musik "Degung", yaitu musik tradisional Sunda, daerah asal orang tuanya Vikra. Ketika Vikra sedang mengajak teman-temannya yang sebagian non Indonesia dia memasang musik Degung itu di mobil. Tentu saja anak-anak muda yang sudah lama dibesarkan di NZ ini terheran-heran ketika mendengar musik Degung ini. "What the f**k music is this?" kata salah seorang temannya.