Sabtu, 03 Mei 2008

Demokrasi Keluarga

Tulisan kali ini sebenarnya masalah domestik keluarga. Dimulai 2007 Juni/Juli, ketika istri dan anak bungsu, Hakim, mengunjungi kakaknya di Auckland. Sepulang dari Auckland, Hakim berpendapat bahwa keluarga ini harusnya berkumpul jadi satu seperti layaknya keluarga lain, apalagi si Hakim ini merasa sangat dekat dengan abangnya, Vikra. Aspirasi si kecil kami bahas sampai menghasilkan suatu niat untuk bersiap kembali tinggal sekeluarga di Auckland. Selain kakak-adik dipertemukan, juga saya dan istri merasa lebih tenang bisa berdekatan dengan anak kami yang masih remaja di Auckland.

Setelah berpikir cukup dan diskusi suami istri yang intens, ahirnya diputuskan 2008 ini keluarga Dangbayan back to Auckland. Perkiraannya, saya kembali pertengahan tahun, kemudian disusul istri dan Hakim pada ahir tahun 2008. Untuk persiapan itu, saya kemudian mengajukan pengunduran diri dari perusahaan yang telah dibangun selama 17 tahun bersama partner yang lain. Per Januari 2008 pun saya sudah efektif non aktif / mundur dari perusahaan.

Namun belajar dari pengalaman sebelumnya, dimana keputusan untuk menetap sementara di Auckland boleh dikata tidak kami diskusikan dalam arti oleh seluruh anggota keluarga, maka kali ini untuk mencoba bersikap lebih demokratis, digelar lah rapat keluarga antara saya, istri, Vikra dan Hakim, dengan topik kepindahan keluarga Dangbayan ke Auckland. Dalam rapat ini semua anggota keluarga punya hak suara yang sama. Rapat dimulai dengan penjelasan dan latar belakang rencana ini cukup panjang lebar. Ibunya anak-anak wanti-wanti bahwa apapun keputusan rapat ini akan bersifat mengikat sehingga semua harus menerima dan mendukung keputusan rapat yang disepakati bersama. Jangan dikemudian hari berkeluh kesah, karena memang hidup di NZ tentu tidak sama dengan di Indonesia.

Ketika Vikra diberi kesempatan untuk berkomentar, ternyata isinya diluar dugaan kami. Baginya, kalau kepindahan ini hanya lantaran mau mendampingi dia, sebaiknya tidak perlu dilakukan. Karena sudah 2 tahun dia bisa membuktikan mampu hidup di Auckland tanpa didampingi bapak - ibunya. Apalagi, tambahnya, masih ada nenek yang membutuhkan kehadiran Ibu di Jakarta ini. Kami sebagai orangtuanya sempat tertegun mendengarkan komentar anak usia 16 tahun jalan ke 17 ini.

Singkat kata, Vikra tidak meminta keluarganya pindah, kalaupun bisa itu akan dirasakannya sebagai bonus. Sedangkan Hakim, karena usianya yang masih kecil, memilih untuk tetap bersama bapak dan ibu. Pun ketika Vikra ditanyakan untuk pindah kembali ke Jakarta, agar bisa bersatu dengan adiknya yang memang sangat sayang kepada si abang, dengan kalem kakaknya menolak. Alasan utamanya karena sekolahnya sudah "nanggung", setahun lagi insha Allah masuk uni. Alhasil, keluarga Dangbayan ahirnya memutuskan secara aklamasi menunda kepindahan sekeluarga ke Auckland sampai waktu yang tidak ditentukan.

Ketika menyampaikan penundaan kepindahan ini, baik neneknya anak-anak dari istri atapun saya sama-sama memeluk erat seolah mensukuri keputusan keluarga Dangbayan.

Tidak ada komentar: